Di tengah suasana panasnya Solo yang
memuncak, kudengar suatu keributan. Keributan yang teratur, bernada, dan berritme.
Tidak terlalu jelas lirik apa yang dilantunkan, namun secepatnya aku sadar
bahwa itulah musik. Suara musik itu sepertinya keluar dari sebuah tape radio
tua, sehingga banyak suara parsial yang dihasilkan. Kencangnya volume yang
dibunyikan saat itu memancingku untuk bertanya, “Apa itu?”. “Biasanya pedagang
keliling, penjual es atau apa”, jelas temanku.
Seketika itu aku teringat kampung
halamanku, Magetan. Ingatanku tertuju pada sekelompok musisi jalanan yang
seringkali mangkal dari rumah ke rumah. Dengan beranggotakan dua orang, pria
dan wanita bisa dipastikan mereka adalah sepasang suami istri yang sedang mengais
rejeki. Sang istri berdandan layaknya seorang pesindhen, dengan kebaya dan make up muka yang menor. Sedikit-sedikit
memang si ibu itu memoleskan bedak di mukanya yang berleleran keringat.
Sedangkan sang suami, memakai pakaian adat Jawa Timur dan berkalungkan sebuah
kotak musik di depan perutnya. Aku ingat saat itu ada warga yang iba dengan
perjuangan mereka ini, kemudian mencoba memberikan mereka kesempatan untuk
mempertunjukkan sesuatu. Aku ikut nimbrung dan menonton mereka di situ. Si
bapak memberikan sebuah microphone
kepada istrinya, dan disetelnya tape
recorder yang dibawanya. Musikpun keluar dari situ, mengarah ke bagian
intro lagu dan ibu itupun mulai bernyanyi. Ya, aku mulai paham, ini seperti
mendengarkan orang berkaraoke dengan suara vokal yang diiringi musik elektrik
dan dandanan mengundang perhatian.
Suara Sebagai Komoditas
Dari kedua fenomena ini, kita
sama-sama melihat ada musik yang diperdengarkan. Tak hanya itu, musik yang
diperdengarkan sama-sama dibawakan secara berkeliling. Hal yang membedakan
adalah konteksnya. Kalau yang pertama pedagang keliling itu tidak sedang
menjual suara. Dengan kata lain, musik dijadikannya sebagai medium untuk
memanggil dan mengundang perhatian agar orang datang dan membeli barang yang
dijajakannya. Orang yang sedang menonton TV misalnya, tanpa melihat ke luar
rumahpun sudah dapat memastikan bahwa ada pedagang keliling di luar sana.
Bagaimana dengan fenomena sosial yang kedua? Sepasang musisi jalanan ini
bermusik dalam diam, hanya dengan derap kaki mereka melangkah mendatangi rumah
warga, dan berhenti pada warga yang memintanya untuk mampir. Jelaslah, pengamen
ini menjual suaranya. Tidak akan diberikannya suara yang mereka jual jika tidak
ada bayaran. Meskipun kita tidak tahu, sepanjang jalanpun mungkin mereka terus
bernyanyi di dalam hati.
Menarik sekali ketika pengamen ini
menjual suara yang saya rasa kualitasnya masih jauh di bawah suara yang
dihasilkan DVD di rumah. Suara sindhen yang sudah parau, mengingat tampilan
usianya yang sudah tidak muda, disertai dandanan yang terlihat aneh di era
semodern ini tentunya akan kalah bersaing bila disandingkan dengan pertunjukan
musik k-pop yang ada di program TV yang konon katanya digunakan sebagai
parameter musik di Indonesia. Gethuk, Nyidam Sari, Layang Kangen dan lagu-lagu
campur sari lain yang banyak peminatnya menjadi andalan mereka. Mereka bermusik
bukan dengan tanpa referensi. Tentunya pengalamannya terdahulu telah
mengkonstruksi bangunan pengetahuannya di masa kini. Segala yang ada di dalam
kelompok pengamen itu, baik kemasan maupun apa yang dipertunjukkannya merupakan
akumulasi dari frame of reference dan
field of experience mereka.
Memanfaatkan Citra
Bagaimana sepasang pengamen tersebut
menemukan penggemar musiknya? Bukankah mereka berkeliling dalam diam? Mereka
secara tidak sadar memanfaatkan citra. Citra menurut Santosa dalam Komunikasi Seni Aplikasi Dalam Pertunjukkan
Gamelan merupakan wujud yang dibentuk setelah terjadi proses “transformasi”
dari wujud yang dapat diraba dilihat, dicium, dan dirasakan menjadi wujud
serupa dalam benak penonton, wujud tersebut tidak lagi direpresentasikan keluar
karena sudah mejadi milik pembuat citra tersebut. Sama-sama mencoba untuk
memahami apa itu citra dan bagaimana wujudnya, saya mencoba untuk
mengaplikasikannya ke dalam fenomena yang saya lihat. Citra visual yang sudah
terlebih dahulu terbentuk di dalam benak masyarakat Jawa, tentunya akan terbaca
ketika terjadi komunikasi non verbal saat mereka saling bertemu dan melihat. Mereka
melihat kebaya yang dipakai, dandanan muka dan sanggul yang mewakili
idiom-idiom Jawa. Itu artinya, dalam diam pun mereka berkomunikasi. Alurnya
bila digambarkan akan demikian: banyak citra yang dikomunikasikan keluar dari
si pengamen khususnya dalam bentuk visual, citra ditangkap melalui penglihatan,
tanggapan dari penangkap citra, kemudian citra musikal menguatkan citra visual
yang sebelumnya terbentuk. Citra musikal maupun visual keduanya saling
mengidentifikasikan identitasnya.
Citra visual akan selalu
dimanfaatkan oleh pemusik dari waktu ke waktu. Lihat saja Lady Gaga yang selalu
bermonster ria, Cherybelle yang gila memamerkan kaki ala Sailormoon-nya, atau
Trio Macan dengan macan-macanannya. Sebab, polesan mempunyai kekuatan magisnya
tersendiri di dalam suatu pertunjukan. Dalam pertunjukan kecil sekalipun,
polesan menjadi senjata yang ampuh yang bahkan dinomor-satukan di samping
kualitas musikal yang hendak dipertontonkan. Seorang Agnes Monica dengan
kualitas suara yang tidak diragukan pun menyadari pentingnya memanfaatkan
kekuatan citra dari penampilannya. Penampilan yang bagaimanakah, menjadi
pertanyaan yang terulur panjang di panggung hiburan dan bahkan di dunia orang
pinggiran dengan rupa-rupanya yang beragam serta tak jarang kontroversial.
Kesimpulan
Kita tidak bisa sepenuhnya
mengabaikan kehadiran para musisi jalanan, entah itu kita inginkan atau tidak.
Fenomena ini mewakili wajah kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini.
Kehadiran mereka menyiratkan sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan. Bahwa
masih ada bentuk-bentuk kesenian tradisi yang hidup di tengah ramainya arus
globalisasi. Sekaligus mempertanyakan bagaimanakah nasib kesenian tradisi untuk
waktu yang akan datang.