Rabu, 02 November 2016

PERTANYAAN PALING SULIT DI DUNIA

Pernahkah kamu merasa pada suatu ketika tidak ada angin tidak ada hujan muncul sebuah pertanyaan yang menggelegar dalam hati?
Pada saat itu kamu tidak tahu ke mana pertanyaan seharusnya ditujukan karena kamu rasa tidak seorang pun dapat menjawabnya termasuk dirimu seniri yang berusaha keras mengingkarinya.
Apakah benar semua pertanyaan ini berasa dari dirimu atau bagian di dalam dirimu, entah itu pikiran, perasaan, atau sesuatu yang lain?
Apa pertanyaan yang paling sulit itu akan menjadikanmu resah?
Apa dia akan pergi dengan sendirinya?

Kamis, 24 April 2014

KUBU PERFEKSIONIS


Aku takut keluar dari rahim ibu
Aku takut tak dapat melihat
Aku takut tak dapat berkata-kata
Aku takut menangispun aku tak sanggup
Ataupun menelan ludahku sendiri

Aku takut memaki ibuku kelak
Aku takut mematung saat kupecahkan gelas temanku
Aku takut tak dapat menjadi bintang kelas
Aku takut bila menumpahkan cat air di atas meja guruku
Aku akan dimarahi
Aku cela

Aku takut tak tahu bagaimana caranya mencintai
Aku takut tak dapat membersihkan kotoran di pantat celanaku
Aku takut aku sombong kar’na hitamku
Aku takut tak tahu berbuat apa

Aku manusia yang terlalu takut turun ke dunia
Menatap matahari senja akupun takut
Bila malam, siapa yang melindungiku?
Bila pagi, siapa yang memberiku segelas susu?
Aku takut untuk tidak berada pada suatu ketiadaan
Tapi aku ada
Di hadapan sebuah cermin aku melihat aku yang ada
Dalam diam


SESUAP NASI DARI CITRA POLESAN


            Di tengah suasana panasnya Solo yang memuncak, kudengar suatu keributan. Keributan yang teratur, bernada, dan berritme. Tidak terlalu jelas lirik apa yang dilantunkan, namun secepatnya aku sadar bahwa itulah musik. Suara musik itu sepertinya keluar dari sebuah tape radio tua, sehingga banyak suara parsial yang dihasilkan. Kencangnya volume yang dibunyikan saat itu memancingku untuk bertanya, “Apa itu?”. “Biasanya pedagang keliling, penjual es atau apa”, jelas temanku.
            Seketika itu aku teringat kampung halamanku, Magetan. Ingatanku tertuju pada sekelompok musisi jalanan yang seringkali mangkal dari rumah ke rumah. Dengan beranggotakan dua orang, pria dan wanita bisa dipastikan mereka adalah sepasang suami istri yang sedang mengais rejeki. Sang istri berdandan layaknya seorang pesindhen, dengan kebaya dan make up muka yang menor. Sedikit-sedikit memang si ibu itu memoleskan bedak di mukanya yang berleleran keringat. Sedangkan sang suami, memakai pakaian adat Jawa Timur dan berkalungkan sebuah kotak musik di depan perutnya. Aku ingat saat itu ada warga yang iba dengan perjuangan mereka ini, kemudian mencoba memberikan mereka kesempatan untuk mempertunjukkan sesuatu. Aku ikut nimbrung dan menonton mereka di situ. Si bapak memberikan sebuah microphone kepada istrinya, dan disetelnya tape recorder yang dibawanya. Musikpun keluar dari situ, mengarah ke bagian intro lagu dan ibu itupun mulai bernyanyi. Ya, aku mulai paham, ini seperti mendengarkan orang berkaraoke dengan suara vokal yang diiringi musik elektrik dan dandanan mengundang perhatian.
Suara Sebagai Komoditas
            Dari kedua fenomena ini, kita sama-sama melihat ada musik yang diperdengarkan. Tak hanya itu, musik yang diperdengarkan sama-sama dibawakan secara berkeliling. Hal yang membedakan adalah konteksnya. Kalau yang pertama pedagang keliling itu tidak sedang menjual suara. Dengan kata lain, musik dijadikannya sebagai medium untuk memanggil dan mengundang perhatian agar orang datang dan membeli barang yang dijajakannya. Orang yang sedang menonton TV misalnya, tanpa melihat ke luar rumahpun sudah dapat memastikan bahwa ada pedagang keliling di luar sana. Bagaimana dengan fenomena sosial yang kedua? Sepasang musisi jalanan ini bermusik dalam diam, hanya dengan derap kaki mereka melangkah mendatangi rumah warga, dan berhenti pada warga yang memintanya untuk mampir. Jelaslah, pengamen ini menjual suaranya. Tidak akan diberikannya suara yang mereka jual jika tidak ada bayaran. Meskipun kita tidak tahu, sepanjang jalanpun mungkin mereka terus bernyanyi di dalam hati.
            Menarik sekali ketika pengamen ini menjual suara yang saya rasa kualitasnya masih jauh di bawah suara yang dihasilkan DVD di rumah. Suara sindhen yang sudah parau, mengingat tampilan usianya yang sudah tidak muda, disertai dandanan yang terlihat aneh di era semodern ini tentunya akan kalah bersaing bila disandingkan dengan pertunjukan musik k-pop yang ada di program TV yang konon katanya digunakan sebagai parameter musik di Indonesia. Gethuk, Nyidam Sari, Layang Kangen dan lagu-lagu campur sari lain yang banyak peminatnya menjadi andalan mereka. Mereka bermusik bukan dengan tanpa referensi. Tentunya pengalamannya terdahulu telah mengkonstruksi bangunan pengetahuannya di masa kini. Segala yang ada di dalam kelompok pengamen itu, baik kemasan maupun apa yang dipertunjukkannya merupakan akumulasi dari frame of reference dan field of experience mereka.
Memanfaatkan Citra
            Bagaimana sepasang pengamen tersebut menemukan penggemar musiknya? Bukankah mereka berkeliling dalam diam? Mereka secara tidak sadar memanfaatkan citra. Citra menurut Santosa dalam Komunikasi Seni Aplikasi Dalam Pertunjukkan Gamelan merupakan wujud yang dibentuk setelah terjadi proses “transformasi” dari wujud yang dapat diraba dilihat, dicium, dan dirasakan menjadi wujud serupa dalam benak penonton, wujud tersebut tidak lagi direpresentasikan keluar karena sudah mejadi milik pembuat citra tersebut. Sama-sama mencoba untuk memahami apa itu citra dan bagaimana wujudnya, saya mencoba untuk mengaplikasikannya ke dalam fenomena yang saya lihat. Citra visual yang sudah terlebih dahulu terbentuk di dalam benak masyarakat Jawa, tentunya akan terbaca ketika terjadi komunikasi non verbal saat mereka saling bertemu dan melihat. Mereka melihat kebaya yang dipakai, dandanan muka dan sanggul yang mewakili idiom-idiom Jawa. Itu artinya, dalam diam pun mereka berkomunikasi. Alurnya bila digambarkan akan demikian: banyak citra yang dikomunikasikan keluar dari si pengamen khususnya dalam bentuk visual, citra ditangkap melalui penglihatan, tanggapan dari penangkap citra, kemudian citra musikal menguatkan citra visual yang sebelumnya terbentuk. Citra musikal maupun visual keduanya saling mengidentifikasikan identitasnya.
            Citra visual akan selalu dimanfaatkan oleh pemusik dari waktu ke waktu. Lihat saja Lady Gaga yang selalu bermonster ria, Cherybelle yang gila memamerkan kaki ala Sailormoon-nya, atau Trio Macan dengan macan-macanannya. Sebab, polesan mempunyai kekuatan magisnya tersendiri di dalam suatu pertunjukan. Dalam pertunjukan kecil sekalipun, polesan menjadi senjata yang ampuh yang bahkan dinomor-satukan di samping kualitas musikal yang hendak dipertontonkan. Seorang Agnes Monica dengan kualitas suara yang tidak diragukan pun menyadari pentingnya memanfaatkan kekuatan citra dari penampilannya. Penampilan yang bagaimanakah, menjadi pertanyaan yang terulur panjang di panggung hiburan dan bahkan di dunia orang pinggiran dengan rupa-rupanya yang beragam serta tak jarang kontroversial.
Kesimpulan

            Kita tidak bisa sepenuhnya mengabaikan kehadiran para musisi jalanan, entah itu kita inginkan atau tidak. Fenomena ini mewakili wajah kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Kehadiran mereka menyiratkan sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan. Bahwa masih ada bentuk-bentuk kesenian tradisi yang hidup di tengah ramainya arus globalisasi. Sekaligus mempertanyakan bagaimanakah nasib kesenian tradisi untuk waktu yang akan datang.